Jumat, 06 November 2015

Hidup itu Proses, Mati itu Final

Oleh: Digna Orwiantari

Gadis kelahiran 11 Januari 1985 di Cirebon, Jawa Barat itu bernama Sinta Ridwan. Sinta panggilan akrabnya terlahir dari keluarga sederhana pasangan Bapak Djaja (Almarhum) dan Ibu Hermayanti. Ia telah menyelesaikan S-1 di Bandung, tepatnya ia mengambil jurusan Sastra Inggris STIBA-ABA Yapari. Setelahnya, Sinta meneruskan S-2 jurusan Filologi Universitas Padjajaran yang juga beraa di Bandung. Kini ia sedang menempuh pendidikan S-3 di jurusan dan universitas yang sama yaitu jurusan Filologi Universitas Padjajaran.
Tahun 2005, pada bulan Februari, tak pernah di sangka gadis ini di vonis oleh dokter setelah melewati serangkaian pemeriksaan akhirnya dinyatakan bahwa Sinta menderita penyakit lupus. Ia harus bolak-balik masuk rumah sakit, berburu dokter spesialis, dan mengonsumsi berbagai macam obat kimia. Rasanya hidup gadis ini hanya sampai disini, ia sangat terpukul dengan keadaannya sekarang. Sinar matahari yang dulu menerangi hidupnya, kini berputar 180 derajat. Sakit yang luar biasa kini yang dirasakan Sinta saat bersentuhan dengan sinar matahari. Akibat penyakit ini, uang banyak yang telah dikeluarkan, bahkan habis untuk membeli obat-obatan, sehingga untuk makan sehari-hari pun susah.
Tahun berikutnya pada bulan Mei 2006, Sinta menyadari bahwa obat-obatan kimia tidak banyak membantu penyembuhannya, namun ia mendapatkan obat yang paling mujarab yaitu perasaan bahagia. Ia akhirnya memutuskan untuk tidak lagi mengonsumsi obat-obatan kimia tersebut, dengan obat mujarabnya ia berusaha meyakinkan dirinya dan melupakan penyakitnya sehingga ia mampu beraktivitas layaknya orang normal. Semangat sinta, membuatnya kembali menekuni hobinya, yaitu membuat puisi. Pada tahun 2008 terbitlah kumpulan puisi karya Sinta Ridwan yang diberi judul “Secangkir Bintang”. Tidak hanya itu, dengan semangat ingin berbagi pengalaman hidup kepada oranag lain, ia juga menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Berteman dengan Kematian”, karena menurutnya perjalanan hidup adalah proses dan kematian adalah final. Sinta menegaskan untuk tidak takut pada kematian. Kematian itu tidak perlu ditakuti, terimalah dengan senyum kebahagiaan, karena kematian adalah jodoh yang pasti akan datang untuk mendampingi kita untuk melangkah menuju kehidupan yang baru yang merupakan kehidupan kekal yakni di akhirat kelak.
Kelas Aksakun (Aksara Kuno) adalah media kebahagiaan bagi Sinta untuk membantu orang lain dan berbagi pengetahuan. Bermula pada tahun 2009, ia bersama teman-teman seniman yang termasuk penggemar musik indie di Bandung mendirikan kelas Aksakun, serta mengajar dengan aksara kuno yang kaya cerita dan informasi dari masa lalu yang menarik. Ketertarikan dengan aksara kuno karena sesuai dengan bidang ilmu yang ia emban yakni filologi. Menurutnya, banyak informasi di kehidupan masa lalu yang dapat dimanfaatkan untuk kehidupan masa kini, contohnya seperti informasi untuk kepentingan tata ruang, tentang pengobatan tradisional, dan sebagainya.

Sinta prihatin terhadap kondisi naskah-naskah kuno yang telah rusak karena tidak dipelihara dengan baik. Hal ini ia dapatkan setelah menelusuri banyak perpustakaan dan museum di berbagai daerah seperti Jogja, Solo, Bali, Sulawesi hingga Papua. Oleh karena itu, ia ingin mendirikan museum digital tentang aksara kuno agar masyarakat dapat mudah mengaksesnya melalui internet.  Inilah kebahagiaan Sinta, ia telah menemukan caranya melawan penyakit lupus yang membuatnya tidak bersahabat lagi dengan sinar matahari. Gadis penggemar puisi Chairil Anwar ini juga suka menulis puisi. Layaknya judul puisi idolanya tersebut menginspirasi sosok gadis ini, Sinta Ridwan ingin hidup seribu tahun lagi.   

0 komentar:

Digna Orwiantari © 2018 *Templates para Você*