Oleh: Digna Orwiantari
Gadis kelahiran 11 Januari 1985 di
Cirebon, Jawa Barat itu bernama Sinta Ridwan. Sinta panggilan akrabnya terlahir
dari keluarga sederhana pasangan Bapak Djaja (Almarhum) dan Ibu Hermayanti. Ia
telah menyelesaikan S-1 di Bandung, tepatnya ia mengambil jurusan Sastra
Inggris STIBA-ABA Yapari. Setelahnya, Sinta meneruskan S-2 jurusan Filologi
Universitas Padjajaran yang juga beraa di Bandung. Kini ia sedang menempuh
pendidikan S-3 di jurusan dan universitas yang sama yaitu jurusan Filologi
Universitas Padjajaran.
Tahun 2005, pada bulan Februari, tak
pernah di sangka gadis ini di vonis oleh dokter setelah melewati serangkaian
pemeriksaan akhirnya dinyatakan bahwa Sinta menderita penyakit lupus. Ia harus
bolak-balik masuk rumah sakit, berburu dokter spesialis, dan mengonsumsi
berbagai macam obat kimia. Rasanya hidup gadis ini hanya sampai disini, ia
sangat terpukul dengan keadaannya sekarang. Sinar matahari yang dulu menerangi
hidupnya, kini berputar 180 derajat. Sakit yang luar biasa kini yang dirasakan
Sinta saat bersentuhan dengan sinar matahari. Akibat penyakit ini, uang banyak
yang telah dikeluarkan, bahkan habis untuk membeli obat-obatan, sehingga untuk
makan sehari-hari pun susah.
Tahun berikutnya pada bulan Mei 2006,
Sinta menyadari bahwa obat-obatan kimia tidak banyak membantu penyembuhannya,
namun ia mendapatkan obat yang paling mujarab yaitu perasaan bahagia. Ia
akhirnya memutuskan untuk tidak lagi mengonsumsi obat-obatan kimia tersebut,
dengan obat mujarabnya ia berusaha meyakinkan dirinya dan melupakan penyakitnya
sehingga ia mampu beraktivitas layaknya orang normal. Semangat sinta,
membuatnya kembali menekuni hobinya, yaitu membuat puisi. Pada tahun 2008
terbitlah kumpulan puisi karya Sinta Ridwan yang diberi judul “Secangkir Bintang”. Tidak hanya itu,
dengan semangat ingin berbagi pengalaman hidup kepada oranag lain, ia juga
menerbitkan sebuah buku yang berjudul “Berteman dengan Kematian”, karena
menurutnya perjalanan hidup adalah proses dan kematian adalah final. Sinta
menegaskan untuk tidak takut pada kematian. Kematian itu tidak perlu ditakuti, terimalah
dengan senyum kebahagiaan, karena kematian adalah jodoh yang pasti akan datang
untuk mendampingi kita untuk melangkah menuju kehidupan yang baru yang
merupakan kehidupan kekal yakni di akhirat kelak.
Kelas Aksakun (Aksara Kuno) adalah media
kebahagiaan bagi Sinta untuk membantu orang lain dan berbagi pengetahuan.
Bermula pada tahun 2009, ia bersama teman-teman seniman yang termasuk penggemar
musik indie di Bandung mendirikan kelas Aksakun, serta mengajar dengan aksara
kuno yang kaya cerita dan informasi dari masa lalu yang menarik. Ketertarikan
dengan aksara kuno karena sesuai dengan bidang ilmu yang ia emban yakni
filologi. Menurutnya, banyak informasi di kehidupan masa lalu yang dapat
dimanfaatkan untuk kehidupan masa kini, contohnya seperti informasi untuk
kepentingan tata ruang, tentang pengobatan tradisional, dan sebagainya.
Sinta prihatin terhadap kondisi
naskah-naskah kuno yang telah rusak karena tidak dipelihara dengan baik. Hal
ini ia dapatkan setelah menelusuri banyak perpustakaan dan museum di berbagai
daerah seperti Jogja, Solo, Bali, Sulawesi hingga Papua. Oleh karena itu, ia
ingin mendirikan museum digital tentang aksara kuno agar masyarakat dapat mudah
mengaksesnya melalui internet. Inilah
kebahagiaan Sinta, ia telah menemukan caranya melawan penyakit lupus yang
membuatnya tidak bersahabat lagi dengan sinar matahari. Gadis penggemar puisi
Chairil Anwar ini juga suka menulis puisi. Layaknya judul puisi idolanya
tersebut menginspirasi sosok gadis ini, Sinta Ridwan ingin hidup seribu tahun
lagi.
0 komentar:
Posting Komentar